Selasa, 25 November 2014

Perjumpaan dengan Allah (Liqa’ Allah) (Bag-1)

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang dimaksud dengan perjumpaan dengan Allah SWT (liqa’ Allah)? Mungkinkah manusia berjumpa dengan Allah?Apa dasar nya? Jika mungkin, apa dan bagaimana kiat seorang manusia bisa menjumpai-Nya?
Apa dampak perjumpaan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa didekati dengan ilmul yaqin (pengetahuan yang pasti), ‘ainul yaqin (penglihatan yang valid), dan haqqul yaqin (keyakinan yang sempurna).


Pendekatan ‘ilmul yaqin ketika seseorang berusaha memahami secara konseptual apa dan bagaimana sesungguhnya konsep perjumpaan dengan Allah melalui metode ilmu pengetahuan biasa, yaitu mempelajari konsep seluk beluk, nama-nama, sifat-sifat, dan zat- Nya.
Pendekatan ‘ainul yaqin bukan lagi hanya pada tataran konsep, melainkan seseorang sudah menyaksikan bagaimana orang-orang yang sudah berusaha dan mungkin sudah mencapai perjumpaan dengan Tuhannya.


Pendekatan haqqul yaqin terjadi saat seseorang tidak hanya me ngetahui secara konsep dan menyaksikan langsung seseorang yang sudah berhasil mencapai maqam liqa’ Allah, tetapi ia sendiri merasakan dan mengalami liqa’ Allah itu sendiri. Sudah barang tentu haqqul yaqin lebih mantap daripada ílmul yaqin atau ‘ainul yaqin.


Perjumpaan dengan Tuhan ialah suasana batin seorang hamba yang merasa sedekat-dekatnya dengan Tuhan, sehingga merasa tidak ada lagi jarak antara Tuhan yang disembah dan hamba yang menyembah. Suasana batin seperti ini membuat seorang hamba merasakan “kehadiran” Tuhan di benaknya.
Perjumpaan Tuhan tidak bisa dibayangkan dalam bentuk indra, tetapi perjumpaan secara rohani. Seorang hamba yang sedang beribadah dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk seolah-olah melihat Tuhan, minimal diasumsikan Tuhan sedang melihatnya (An ta’budallah ka annaka tarahu, wa in lam takun tarahu fainnahu yaraka).


Kemungkinan perjumpaan an tara hamba dan Tuhannya diisyaratkan dalam beberapa ayat, antara lain, “Barangsiapa mengharap per jum paan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS al-Kahfi [18]:10). Demikian pula dalam ayat, “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al- ’Ankabuut [29]:5).


“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada- Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS al-Baqarah [2]:186). “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS Qaaf [50]:16).


“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al- Hadiid [57]:4). “Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]:37).


Wujud perjumpaan dengan Tuhan sangat personal. Setiap orang mempunyai pengalaman spiritual masing-masing. Di antara pengalaman para sufi dalam berjumpa dengan Tuhannya, dikenal beberapa konsep sebagai ber ikut. Pertama, al-hulul yang diperkenalkan oleh Ibn Mansur al- Hallaj, yaitu Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifatsifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sifat-sifat kemanusiaan dapat dilenyapkan dengan upaya pembersihan diri secara bertahap atau saksama.


Jika sifat-sifat kemanusiaan sudah hilang, yang tinggal hanyalah unsur kedua yang dikenal dengan sifat-sifat ketuhanan (lahut). Pada saat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya, pada saat itu pula manusia akan fana’ dan Tuhan dapat mengambil tempat dalam diri yang bersangkutan. Di situlah roh manusia dan Tuhannya bersatu. Pengalaman seperti ini digambarkan dalam syair-syair sufi atau biasa disebut syuthuhat (theopatical stammering) sebagai berikut.


“Jiwa-Mu disatukan dengan jiwa ku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah Aku.” Dalam syair lain dikatakan, “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”


Kedua, al-ittihad yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami, yaitu seseorang yang merasa dirinya betul-betul bersatu dengan Tuhan, sehingga yang dilihat dan dira sa kan hanya satu wujud. Identitas kemanusiaan sudah hilang dan yang tinggal hanya satu wu jud. Abu Yazid melukiskan pe nga lamannya dengan syair, “Aku bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada- Mu? Tuhan menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah.”


Pada saat Abu Yazid meninggalkan dirinya, saat itulah merasakan penyatuannya dengan Tuhan. Jika menurut konsep hulul al-Hallaj diri seseorang tidak hancur dan tidak hilang, tetap dua wujud (Tuhan dan manusia), tetapi bersatu dalam satu tubuh, menurut konsep Abu Yazid, diri seseorang hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Seseorang yang ingin berjumpa dengan Tuhannya dapat melakukan upaya yang disebutnya dengan mendaki (taraqqi).


Pada saat manusia melakukan pendakian, Tuhan akan “turun” (tanazul) hing ga terjadi pertemuan dan penyatuan antara keduanya. Pada saat penyatuan terjadi, keluarlah ungkapan-ungkapan “aneh” (syuthuh at) sebagaimana disebutkan di atas.


Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Wakil Menteri Agama RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar