Selasa, 30 Desember 2014

Mengenal Istilah Ma'rifat

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah"yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.

Selasa, 25 November 2014

Perjumpaan dengan Allah-Liqa' Allah (Bag 2)



Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar


Demikian pula dalam ayat, “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS al- ’Ankabuut [29]: 5).


“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada- Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS al-Baqarah [2]: 186).


“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS Qaaf [50]: 16).


“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al- Hadiid [57]: 4).


“Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]: 37).


Wujud perjumpaan dengan Tuhan sangat personal. Setiap orang mempunyai pengalaman spiritual masing-masing. Diantara pengalaman para sufi dalam berjumpa dengan Tuhannya, dikenal beberapa konsep sebagai berikut.


Pertama, al-hulul yang diperkenalkan oleh Ibn Mansur al- Hallaj, yaitu Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifatsifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sifat-sifat kemanusiaan dapat dilenyapkan dengan upaya pembersihan diri secara bertahap atau saksama.


Jika sifat-sifat kemanusiaan sudah hilang, yang tinggal hanyalah unsur kedua yang dikenal dengan sifat-sifat ketuhanan (lahut). Pada saat menghilangkan sifatsifat kemanusiaannya, pada saat itu pula manusia akan fana dan Tuhan dapat mengambil tempat dalam diri yang bersangkutan. Di situlah roh manusia dan Tuhannya bersatu.


Pengalaman seperti ini digambarkan dalam syair-syair sufi atau biasa disebut syuthuhat (theopatical stammering) sebagai berikut.


“Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah Aku.”


Dalam syair lain dikatakan, “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/02/25/n1jpyw-perjumpaan-dengan-allahliqa-allah-2

Perjumpaan dengan Allah (Liqa’ Allah) (Bag-1)

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang dimaksud dengan perjumpaan dengan Allah SWT (liqa’ Allah)? Mungkinkah manusia berjumpa dengan Allah?Apa dasar nya? Jika mungkin, apa dan bagaimana kiat seorang manusia bisa menjumpai-Nya?
Apa dampak perjumpaan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa didekati dengan ilmul yaqin (pengetahuan yang pasti), ‘ainul yaqin (penglihatan yang valid), dan haqqul yaqin (keyakinan yang sempurna).


Pendekatan ‘ilmul yaqin ketika seseorang berusaha memahami secara konseptual apa dan bagaimana sesungguhnya konsep perjumpaan dengan Allah melalui metode ilmu pengetahuan biasa, yaitu mempelajari konsep seluk beluk, nama-nama, sifat-sifat, dan zat- Nya.
Pendekatan ‘ainul yaqin bukan lagi hanya pada tataran konsep, melainkan seseorang sudah menyaksikan bagaimana orang-orang yang sudah berusaha dan mungkin sudah mencapai perjumpaan dengan Tuhannya.


Pendekatan haqqul yaqin terjadi saat seseorang tidak hanya me ngetahui secara konsep dan menyaksikan langsung seseorang yang sudah berhasil mencapai maqam liqa’ Allah, tetapi ia sendiri merasakan dan mengalami liqa’ Allah itu sendiri. Sudah barang tentu haqqul yaqin lebih mantap daripada ílmul yaqin atau ‘ainul yaqin.


Perjumpaan dengan Tuhan ialah suasana batin seorang hamba yang merasa sedekat-dekatnya dengan Tuhan, sehingga merasa tidak ada lagi jarak antara Tuhan yang disembah dan hamba yang menyembah. Suasana batin seperti ini membuat seorang hamba merasakan “kehadiran” Tuhan di benaknya.
Perjumpaan Tuhan tidak bisa dibayangkan dalam bentuk indra, tetapi perjumpaan secara rohani. Seorang hamba yang sedang beribadah dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk seolah-olah melihat Tuhan, minimal diasumsikan Tuhan sedang melihatnya (An ta’budallah ka annaka tarahu, wa in lam takun tarahu fainnahu yaraka).


Kemungkinan perjumpaan an tara hamba dan Tuhannya diisyaratkan dalam beberapa ayat, antara lain, “Barangsiapa mengharap per jum paan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS al-Kahfi [18]:10). Demikian pula dalam ayat, “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al- ’Ankabuut [29]:5).


“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada- Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS al-Baqarah [2]:186). “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS Qaaf [50]:16).


“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al- Hadiid [57]:4). “Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]:37).


Wujud perjumpaan dengan Tuhan sangat personal. Setiap orang mempunyai pengalaman spiritual masing-masing. Di antara pengalaman para sufi dalam berjumpa dengan Tuhannya, dikenal beberapa konsep sebagai ber ikut. Pertama, al-hulul yang diperkenalkan oleh Ibn Mansur al- Hallaj, yaitu Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifatsifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sifat-sifat kemanusiaan dapat dilenyapkan dengan upaya pembersihan diri secara bertahap atau saksama.


Jika sifat-sifat kemanusiaan sudah hilang, yang tinggal hanyalah unsur kedua yang dikenal dengan sifat-sifat ketuhanan (lahut). Pada saat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya, pada saat itu pula manusia akan fana’ dan Tuhan dapat mengambil tempat dalam diri yang bersangkutan. Di situlah roh manusia dan Tuhannya bersatu. Pengalaman seperti ini digambarkan dalam syair-syair sufi atau biasa disebut syuthuhat (theopatical stammering) sebagai berikut.


“Jiwa-Mu disatukan dengan jiwa ku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah Aku.” Dalam syair lain dikatakan, “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”


Kedua, al-ittihad yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami, yaitu seseorang yang merasa dirinya betul-betul bersatu dengan Tuhan, sehingga yang dilihat dan dira sa kan hanya satu wujud. Identitas kemanusiaan sudah hilang dan yang tinggal hanya satu wu jud. Abu Yazid melukiskan pe nga lamannya dengan syair, “Aku bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada- Mu? Tuhan menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah.”


Pada saat Abu Yazid meninggalkan dirinya, saat itulah merasakan penyatuannya dengan Tuhan. Jika menurut konsep hulul al-Hallaj diri seseorang tidak hancur dan tidak hilang, tetap dua wujud (Tuhan dan manusia), tetapi bersatu dalam satu tubuh, menurut konsep Abu Yazid, diri seseorang hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Seseorang yang ingin berjumpa dengan Tuhannya dapat melakukan upaya yang disebutnya dengan mendaki (taraqqi).


Pada saat manusia melakukan pendakian, Tuhan akan “turun” (tanazul) hing ga terjadi pertemuan dan penyatuan antara keduanya. Pada saat penyatuan terjadi, keluarlah ungkapan-ungkapan “aneh” (syuthuh at) sebagaimana disebutkan di atas.


Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Wakil Menteri Agama RI

Rabu, 06 Juli 2011

BERKENAAN FANA

Syeikh Ad-Darqawi meriwayatkan bahawa Abu Said Al-Arabi pernah berkata apabila ditanya berkenaan maksud FANA

FANA ialah apabila Keagungan Allah Subhanahuwa Taala yang tidak terbatas itu kelihatan kepada si hamba dan menjadikan ia lupa kepada alam ini dan alam akhirat dengan segala Hal, Martabat dan Maqamnya dan lupa kepada mengingati seluruhnya itu, dan ia tidak nampak lagi kepada segala yang zahir dan segala yang ternampak oleh akal dan jiwanya, dan ia hancur lebur di sana, hinggakan hancur lebur itu pun hilang sirna dari ingatannya, sehingga seluruh dirinya tenggelam dan hilang dalam lautan Ma'rifat yang tidak bertepi dan tidak terkira dalamnya itu.

Syeikh Al-'Alawi berkata:-

Ahli Ma'rifat mengalami mati sebelum mati (bercerai nyawa dari badan). Nabi pernah bersabda, "Mati sebelum kamu mati", dan inilah mati yang sebenarnya. Bercerai nyawa dari badan itu bukanlah mati. Itu hanya pertukaran tempat atau pertukaran alam. Mati yang sebenarnya menurut pandangan orang-orang Sufi ialah FANA atau lenyapnya si hamba itu. Ahli Ma'rifat itu mati kepada dirinya sendiri dan mati kepada alam seluruhnya. Ia hidup semula di dalam Allah Subhanahuwa Taala. Kalau anda tanya tentang wujud dirinya, dia tidak akan menjawab kerana ia tidak nampak wujudnya sendiri. Abu Yazid Al-Bustomi pernah ditanya tentang dirinya, lalu beliau menjawab,

"Abu Yazid telah mati. Mudah-mudahan Allah cucuri rahmat ke atasnya".

Inilah mati yang hakiki. Di Hari Pembangkitan Semula di akhirat kelak, jika ditanya orang yang hanya kenal kepada mati biasa (bercerai nyawa dari badan) saja itu "Siapakah kamu?" Ia akan menjawab, "Aku ini si anu". Kerana nyawanya tidak mati dan ia tidak langsung mencium mati, tetapi hanya sekadar berpindah alam saja. Tidak ada siapa pun yang tahu maksud mati ini melainkan mereka yang telah benar-benar mengalami mati yang hakiki ini. Demikianlah orang sufi itu menghitung dirinya sebelum Hari Perhitungan di akhirat kelak. Nabi pernah bersabda,

"Perhitungkanlah dirimu sebelum engkau diperhitungkan (di akhirat)".

Mereka sedaya upaya dan bersusah payah memperhitung diri mereka sendiri hingga mereka bebas memikirkan Tuhan dan bagi mereka inilah pembangkitan semula sebelum "Pembangkitan Semula" di akhirat kelak.

Keadaan hidup dalam Allah yang dinyatakan oleh kalimat "Muhammadun Rasulul-Lah" itu dinyatakan oleh Syeikh Al-'Alawi selanjutnya demikian:-

Apabila Ahli Ma'rifat mengenal Allah dari segi Zat dan SifatNya dan tenggelam dalam memandang itu, maka ma'rifat ini tidak pula membawa mereka melampaui batasan. Di samping hakikat ia tetap mengamalkan syariat. Perpisahan (farq) beliau tidak menghijabkan dari persatuan (jami'). Begitu juga persatuan beliau tidak menghijabnya dari perpisahan. Dia memandang hakikat dalam dirinya secara langsung, namun begitu Syari'at mengikatnya dari luar. Imam Al-Ghazali dalam bukunya berjudul "Misykat Al-Anwar" ada berkata:-

1. Si Arif (ahli ma'rifat) itu naik dari lembah majasi (bukan sebenarnya) ke puncak gunung Hakikat; dan setelah terlaksana kenaikannya itu maka disaksikannyalah di hadapan mukanya bahawa tidak ada yang wujud kecuali Allah, dan benarlah kata-kata Allah: "Segala-galanya akan hancur musnah kecuali WajahNya", bukan sahaja musnah pada sesuatu yang tertentu bahkan sentiasa hancur musnah........

Tiap-tiap sesuatu ada dua wajah (muka); iaitu wajahnya sendiri dan satu lagi wajah Allah. Berkenaan dengan wajahnya sendiri adalah tidak ada; dan yang berkenaan wajah Allah itulah yang sebenarnya ada. Oleh itu, tidak ada yang wujud kecuali Allah dan Wajahnya, kerana segala-galanya akan hancur musnah kecuali WajahNya selalu, sentiasa dan selama-lamanya.....

Dengan yang sedemikian, seorang ahli sufi tidak perlu menunggu Hari Kebangkitan untuk mendengar firman Tuhan Yang Menjadikan: "Milik siapakah kerajaan pada hari ini?. Milik Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa" (Al-Quran,XL,16), kerana firman Tuhan ini sentiasa kekal dalam pendengarannya, dan tidak perlu lagi mengetahui dari ucapan Allahu Akbar (Allah Yang Maha Besar) yang Dia adalah lebih Agung dari yang lain. Sebenarnya tidak ada yang lain dari Dia Sendiri dalam wujud ini, dan oleh yang demikian tidak ada perbandingan tentang KebesaranNya".

2. "Tidak ada 'Dia' kecuali 'Dia", kerana 'Dia' itu ialah menunjukkan kepada apa yang dirujukkan dan tidak ada rujukan melainkan kepada Dia sahaja; kerana apabila anda membuat rujukan, maka rujukan itu adalah sebenarnya kepada Dia meskipun anda tidak mengetahuinya disebabkan kejahilan anda tentang Hakikat Yang Sebenarnya...........

Oleh yang demikian ucapan 'La ilaha illal-Lah' (Tidak ada Tuhan selain Allah) adalah ucapan Tauhid bagi orang-orang awam, dan ucapan 'Tidak ada Dia selain Dia adalah ucapan orang-orang yang terpilih (yang khusus), kerana yang mula itu adalah lebih umum dan yang kemudian itu adalah yang khusus dan lebih meliputi, lebih benar, lebih tepat dan lebih sesuai untuk membawa orang yang menggunakannya kepada Kesatuan dan Keesaan Yang Maha Mutlak".

Syeikh Ad-Darqawi menyatakan bahawa abu Said ibn Al-arabi pernah berkata apabila ditanya tentang maksud FANA;

"Tentang FANA ini Kemuliaan dan Keagungan Tuhan Yang Maha Agung itu nampak pada si hamba dan dengan itu lupalah si hamba tadi pada dunia dan akhirat dengan segala hal, peringkat dan maqamnya dan dari mengingati segalanya itu. Hilanglah dari si hamba itu segala yang zahir dan yang dalam fikiran dan jiwanya. Hapus segala yang lain. Bahkan kelupaan, kehilangan dan kehapusan itu pun hilang dan musnah darinya sehingga si hamba itu tenggelam dan hilang dalam lautan Ma'rifat kepada Keesaan Tuhan Yang Maha Agung itu.

Sumber: http://www.angelfire.com/journal/suluk/

Ciri-ciri orang bermakrifat

Ciri-ciri orang bermakrifat kepada Allah adalah:
  1. menepati seruan Allah, 
  2. hatinya bersih, 
  3. amalnya baik dan selalu bertambah.
  4. mengakui kesalahan sendiri dan membenarkan pendapat orang lain dalam arti lebih melihat kedalam diri utk melihat hikmah diluar diri kita... 
 dari berbagai sumber

    Mengenal Sufistik Ma’rifat & Hakikat dalam Kehidupan

    Pengertian MA’RIFAT

    KAHMI.Net – Ma’rifat artinya pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.

    Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.

    Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.

    Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.

    Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.

    Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.

    Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

    Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
    Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
    Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
    Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.

    Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.

    Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah:
    Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
    Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya.
    Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.

    Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

    Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.

    Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.

    Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 – 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”.
    Bersambung ke (Mengenal Sufistik Ma’rifat & Hakikat dalam Kehidupan 2)

    *) Oleh: Triyo Supriyatno (Dosen Tetap Fak. Tarbiyah UIN Malang)

    Ref: Dikutip langsung dari www.kahmi.net
    dari sumber asli http://kahmiuin.blogspot.com

    Hasil Pencarian Terkait:
    ,,mengenal marifat,,ma\rifat,,marifat dalam tasawuf,,HAAKIKAT DALAM TASAWUF,,ensiklopedi islam hakikat,,Hakikat ma\rifat,,makrifat dalam tasawuf,,makalah marifat,,seputar islam :ilmu makrifat,,ciri2 orang makrifat,