Selasa, 30 Desember 2014

Mengenal Istilah Ma'rifat

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah"yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.

Selasa, 25 November 2014

Perjumpaan dengan Allah-Liqa' Allah (Bag 2)



Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar


Demikian pula dalam ayat, “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS al- ’Ankabuut [29]: 5).


“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada- Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS al-Baqarah [2]: 186).


“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS Qaaf [50]: 16).


“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al- Hadiid [57]: 4).


“Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]: 37).


Wujud perjumpaan dengan Tuhan sangat personal. Setiap orang mempunyai pengalaman spiritual masing-masing. Diantara pengalaman para sufi dalam berjumpa dengan Tuhannya, dikenal beberapa konsep sebagai berikut.


Pertama, al-hulul yang diperkenalkan oleh Ibn Mansur al- Hallaj, yaitu Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifatsifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sifat-sifat kemanusiaan dapat dilenyapkan dengan upaya pembersihan diri secara bertahap atau saksama.


Jika sifat-sifat kemanusiaan sudah hilang, yang tinggal hanyalah unsur kedua yang dikenal dengan sifat-sifat ketuhanan (lahut). Pada saat menghilangkan sifatsifat kemanusiaannya, pada saat itu pula manusia akan fana dan Tuhan dapat mengambil tempat dalam diri yang bersangkutan. Di situlah roh manusia dan Tuhannya bersatu.


Pengalaman seperti ini digambarkan dalam syair-syair sufi atau biasa disebut syuthuhat (theopatical stammering) sebagai berikut.


“Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah Aku.”


Dalam syair lain dikatakan, “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/02/25/n1jpyw-perjumpaan-dengan-allahliqa-allah-2

Perjumpaan dengan Allah (Liqa’ Allah) (Bag-1)

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang dimaksud dengan perjumpaan dengan Allah SWT (liqa’ Allah)? Mungkinkah manusia berjumpa dengan Allah?Apa dasar nya? Jika mungkin, apa dan bagaimana kiat seorang manusia bisa menjumpai-Nya?
Apa dampak perjumpaan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa didekati dengan ilmul yaqin (pengetahuan yang pasti), ‘ainul yaqin (penglihatan yang valid), dan haqqul yaqin (keyakinan yang sempurna).


Pendekatan ‘ilmul yaqin ketika seseorang berusaha memahami secara konseptual apa dan bagaimana sesungguhnya konsep perjumpaan dengan Allah melalui metode ilmu pengetahuan biasa, yaitu mempelajari konsep seluk beluk, nama-nama, sifat-sifat, dan zat- Nya.
Pendekatan ‘ainul yaqin bukan lagi hanya pada tataran konsep, melainkan seseorang sudah menyaksikan bagaimana orang-orang yang sudah berusaha dan mungkin sudah mencapai perjumpaan dengan Tuhannya.


Pendekatan haqqul yaqin terjadi saat seseorang tidak hanya me ngetahui secara konsep dan menyaksikan langsung seseorang yang sudah berhasil mencapai maqam liqa’ Allah, tetapi ia sendiri merasakan dan mengalami liqa’ Allah itu sendiri. Sudah barang tentu haqqul yaqin lebih mantap daripada ílmul yaqin atau ‘ainul yaqin.


Perjumpaan dengan Tuhan ialah suasana batin seorang hamba yang merasa sedekat-dekatnya dengan Tuhan, sehingga merasa tidak ada lagi jarak antara Tuhan yang disembah dan hamba yang menyembah. Suasana batin seperti ini membuat seorang hamba merasakan “kehadiran” Tuhan di benaknya.
Perjumpaan Tuhan tidak bisa dibayangkan dalam bentuk indra, tetapi perjumpaan secara rohani. Seorang hamba yang sedang beribadah dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk seolah-olah melihat Tuhan, minimal diasumsikan Tuhan sedang melihatnya (An ta’budallah ka annaka tarahu, wa in lam takun tarahu fainnahu yaraka).


Kemungkinan perjumpaan an tara hamba dan Tuhannya diisyaratkan dalam beberapa ayat, antara lain, “Barangsiapa mengharap per jum paan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS al-Kahfi [18]:10). Demikian pula dalam ayat, “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al- ’Ankabuut [29]:5).


“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada- Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS al-Baqarah [2]:186). “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS Qaaf [50]:16).


“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al- Hadiid [57]:4). “Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]:37).


Wujud perjumpaan dengan Tuhan sangat personal. Setiap orang mempunyai pengalaman spiritual masing-masing. Di antara pengalaman para sufi dalam berjumpa dengan Tuhannya, dikenal beberapa konsep sebagai ber ikut. Pertama, al-hulul yang diperkenalkan oleh Ibn Mansur al- Hallaj, yaitu Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifatsifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sifat-sifat kemanusiaan dapat dilenyapkan dengan upaya pembersihan diri secara bertahap atau saksama.


Jika sifat-sifat kemanusiaan sudah hilang, yang tinggal hanyalah unsur kedua yang dikenal dengan sifat-sifat ketuhanan (lahut). Pada saat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya, pada saat itu pula manusia akan fana’ dan Tuhan dapat mengambil tempat dalam diri yang bersangkutan. Di situlah roh manusia dan Tuhannya bersatu. Pengalaman seperti ini digambarkan dalam syair-syair sufi atau biasa disebut syuthuhat (theopatical stammering) sebagai berikut.


“Jiwa-Mu disatukan dengan jiwa ku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah Aku.” Dalam syair lain dikatakan, “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”


Kedua, al-ittihad yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami, yaitu seseorang yang merasa dirinya betul-betul bersatu dengan Tuhan, sehingga yang dilihat dan dira sa kan hanya satu wujud. Identitas kemanusiaan sudah hilang dan yang tinggal hanya satu wu jud. Abu Yazid melukiskan pe nga lamannya dengan syair, “Aku bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada- Mu? Tuhan menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah.”


Pada saat Abu Yazid meninggalkan dirinya, saat itulah merasakan penyatuannya dengan Tuhan. Jika menurut konsep hulul al-Hallaj diri seseorang tidak hancur dan tidak hilang, tetap dua wujud (Tuhan dan manusia), tetapi bersatu dalam satu tubuh, menurut konsep Abu Yazid, diri seseorang hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Seseorang yang ingin berjumpa dengan Tuhannya dapat melakukan upaya yang disebutnya dengan mendaki (taraqqi).


Pada saat manusia melakukan pendakian, Tuhan akan “turun” (tanazul) hing ga terjadi pertemuan dan penyatuan antara keduanya. Pada saat penyatuan terjadi, keluarlah ungkapan-ungkapan “aneh” (syuthuh at) sebagaimana disebutkan di atas.


Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Wakil Menteri Agama RI